Mene

A Farewell To HMS - Meliana L Prasetyo

Logan International Airport, Boston

Setelah beres urusan imigrasi, saya langsung melangkahkan kaki mengarah ke pintu keluar sambil (berusaha) menghindari antrian orang-orang yang menunggu bagasi. Berbeda dengan biasanya, kali ini saya tak membawa satu potong bagasi pun. Tapi kedatangan kali ini juga berbeda dengan biasanya kok. Biasanya saya ke sini untuk tinggal dalam jangka waktu lama, namun kali ini hanya 3 hari. Biasanya saya ke sini dengan perasaan gembira, namun kali ini dengan rasa pedih. Biasanya saya ke sini untuk mengunjungi Rizal dan membuat memori baru namun kali ini untuk menutup kisah dan menghapus jejak kenangan. Dan yang paling terasa : biasanya Rizal yang menjemput saya di bandara, namun kali ini saya dijemput Rifqi, adiknya.

Setelah berbagi pelukan singkat dengan Ifqi, kami langsung menuju ke mobil. "Val, besok pagi aja ya ke kampus. Sekarang ke rumah dulu. Nana kangen sama loe," katanya. Saya langsung menyetujui. Selain karena masih lelah setelah penerbangan panjang selama 30 jam lebih, saya juga merasa belum siap untuk bertemu kampusnya Rizal.

Kampus?
Yup...kedatangan saya ke Boston ini memang untuk membereskan barang-barang Rizal yang masih tertinggal di kampusnya. Semestinya ini menjadi tugas keluarganya Rizal, namun Abi menawarkan pada saya untuk mewakili beliau. Abi paham bahwa saya perlu mengunjungi kota ini sekali lagi. Untuk nostalgia dan juga pamitan pada kota tua yang masih cantik ini walo sebenarnya ada rasa nyeri di dada kiri yang timbul ketika saya pertama melihat kota ini dari atas pesawat tadi.

Esok paginya...
Setelah beristirahat semalaman dan menempuh perjalanan singkat ke Cambridge, sampailah kami di kampus itu.
Kampus tua cantik dengan 5 gedung marmer putihnya yang terkenal dengan sebutan "Great White Quadrangle"nya. Kampus kedua yang paling sering saya datangi.
Kampus yang merekam masa-masa bahagia saya.
Tadinya, saya berencana jalan kaki dari pintu depan hingga ke Vanderbilt (tujuan pertama saya). Tapi rasa nyeri di dada kiri yang semakin bertambah membuat saya membatalkan rencana itu dan memilih naik mobil bareng Ifqi sampai ke asrama.

Di asrama, Charlie sudah menanti saya. Agak surprise juga melihat dia. Dilihat dari waktu itu yang masih pagi, semestinya dia masih kuliah. Rupanya, dia sengaja gak masuk demi menemani saya. Charlie mengajak saya ke kamarnya.
Berhubung kamar Rizal harus segera dikosongkan karena mau dipake siswa lain, maka Charlie membereskan semua barang Rizal dan menyimpannya di kamarnya sendiri. Charlie sudah mengepak barang-barang Rizal dengan rapi dalam kardus. Dan semestinya saya tinggal mengangkat kardus itu.

Tapi dasar saya masochist >.< , saya malah sengaja membuka kardus itu dan mengecek satu persatu barang-barang milik Rizal. Ada bola basket dengan tanda tangan Michael Jordan yang sangat dia banggakan itu, ada jam weker doraemon yang bunyinya berisik banget dan kalo dibunyikan berpotensi bikin semua orang dalam radius 5 meter kena serangan jantung, ada sepatu bola, kaos-kaos lusuh yang katanya adem buat dipake tidur, koleksi lengkap CD Beatles yang selalu dipamerkannya kemana-mana, sejumlah kertas dan buku dan...ah sudahlah...diteruskan lagi bisa mewek saya :').

Setelah rapi mengatur kardus-kardus itu di mobil, kini saya menuju ke kampusnya. Tepatnya ke ruang kerja. Kalo di sini, semua barang Rizal masih dibiarkan di posisi semula. Charlie sudah menyediakan kardus-kardus kosong buat modal saya mengepak.
Sambil menyetel Ipod milik Rizal yang ditinggalkannya disitu, saya memulai proses pengepakan itu. Oh...bye the way, lagu di Ipodnya Beatles juga dong :D. Saya langsung mencari lagu Blackbird yang merupakan lagu Beatles favorit saya (saat ini)

Blackbird singing in the dead of night
Take these broken wings and learn to fly
All your life
You were only waiting for this moment to arise

Yang pertama masuk kardus jelas kertas dan buku-buku yang bejibun itu. Pahit rasanya melihat semua catatan yang dibuatnya. Karena saya teringat lagi dengan semua mimpi dan cita-cita yang kini harus kandas.
Lalu stationery yang gantian masuk kardus, disusul plakat nama Rizal, globe, kursi putar (boong deng :p), semua alat-alat penelitiannya, coffee set dan mugnya. Ah pokoknya semualah. Sementara lagu Blackbird masih terus mengalun, dan rasa sakit di dada kiri kian menjadi.

Black bird singing in the dead of night
Take these sunken eyes and learn to see
All your life
You were only waiting for this moment to be free

Seharusnya sih setelah beres packing, beres juga urusan saya di kampus itu.
Tapi saya pengen banget keliling-keliling di kampus itu (mungkin) untuk yang terakhir kali (He-eh. Memang masochist kok ;p). Saya bahkan meminta Ifqi menunggu di depan gerbang saja karena saya berencana jalan kaki ke gerbang setelah tour ini berakhir.

Ditemani Charlie saya pun memulai tur singkat namun pahit itu, di tengah cuaca Boston yang masih menyisakan aroma musim dingin.
Mulai dari Gordon Hall yang bangunan utama itu. Berlanjut ke Countway Library yang keren mampus dan sering jadi tempat saya terkantuk-kantuk menunggui Rizal yang sedang belajar di sana. Tempatnya Rizal di Goldenson Building. Menengok ruang kelas luas banget yang selalu bikin saya kagum itu. Dilanjutkan ke building lain seperti Armenise atau Warren. Semuanya keren, semuanya berwarna putih (ato kelabu?) dan semuanya menambah nyeri di dada kiri.

Lalu ke Vanderbilt yang paling penuh memori itu (btw di saat itu saya baru nyadar, ini tournya kok muter-muter sih? Gak praktis. Begitulah kalo lagi kusut). Menengok Common Room, Kitchen (iseng amat ya nengok ke dapur), Tennis court, Gym room (salah satu tempat yang dulu sering saya masuki) dan yang paling lama saya nikmati : Lapangan Basket indoor-nya.
Di jam segitu, area itu masih kosong. Tapi saya bisa dengan jelas menghidupkan kembali semua memori disana : jam-jam yang saya habiskan dengan menonton Rizal latihan, juga sorak sorai saya kalo Rizal lagi tanding iseng dengan teman-temannya (biasanya saya ngedukung lawannya ;p). Saya bahkan masih mengingat suara decit sepatu yang beradu dengan lantai kayu dan suara bola yang memantul. Semua memori itu kembali dan makin membangkitkan nyeri di dada kiri.

Dan mungkin saya memang masochist sejati (ato cuma mellow?) karena saya masih kekeuh meneruskan tour pribadi itu ke atrium dan ke lapangan rumput di HMS Quad itu. Tiap kali melihat lapangan rumput yang rapi itu, saya selalu kagum pada para tukang kebun yang niat banget menjaga kebersihan dan kerapihannya.
Di lapangan itu, Rizal dan teman-temannya suka ngumpul untuk belajar atau berdebat.
Di lapangan itu, saya biasa membawa bekal yang sudah saya siapkan dari rumah Nana dan kami bakal piknik ngumpet-ngumpet disana.
Di lapangan itu, saya menikmati kedamaian kecil seperti membaca buku favorit ditemani angin sepoi-sepoi sementara Rizal asyik membaca bukunya sendiri di sebelah saya.
Di lapangan itu, rasanya kami aman terlindungi dalam dunia kami.
Dan pada lapangan itu, sungguh saya mengharap waktu membeku disana.

Sampai disini, saya sudah gak tahan. Rasa sakit di dada kiri makin bertambah. Sakit menusuk dan kini ditambah rasa sesak dan berat di dada. Maka saya pun mengajak Charlie untuk jalan menuju ke mobil.
Sepanjang jalan, saya melihat sekeliling. Pohon tua yang besar namun sedang meranggas itu, batu-batu kelabu itu, rumput hijau itu, pemandangan orang-orang yang sibuk lalu lalang. Saya berusaha merekam semua pemandangan dan semua suasana. Merekam dan menyimpannya di kotak hitam kenangan.

"You sure wanna go home now? Let's have some eat at the Faculty Club," ajak Charlie tiba-tiba.

"Sorry, no time. I got a plane to catch. And I still have to pack all his things in my luggage," tolak saya.

"So...this is it, then? It's maybe your last time in here. C'mon. You have to come to Club for one last time.

Saya menggeleng sambil terus berjalan. Walaupun tawaran makan di Club memang sangat menggoda, tapi saya gak pengen menambah rasa nyeri di dada kiri itu. Mendekati pintu keluar, saya menyadari ada beberapa orang yang berkerumun di depan sana. Sayang, karena gak pake kacamata, saya gak langsung ngeh siapa mereka. Baru setelahnya saya sadar, ternyata itu adalah Tay, Alan, Ravi, Cindy, Jay, pendeknya semua teman Rizal disana. Mereka datang untuk menyapa saya, memberi pelukan sekaligus mengucapkan "final goodbye" mereka ke Rizal (yang ceritanya diwakilkan oleh saya).

Pelukan terlama dan paling berkesan tentu dari Jay. Ah jadi ingat. Saya sempat jealous berat sama cewek ini karena Rizal. Bodoh tentu. Karena tak satu pun dari kami yang akhirnya mendapatkan cowok itu. "Call me if anything, Val. Or even call me if nothing. Do come here again," adalah pesan Jay pada saya.

Dan begitulah...
Diiringi pelukan dan salam dari semua rekan Rizal, saya pun naik ke mobil bersama Ifqi. Dan (mungkin) untuk terakhir kalinya, saya menengok dan menatap gedung megah bermarmer putih itu.
Bye-bye Boston. Sepertinya saya gak akan balik ke sini dalam jangka waktu lama.
Bye-bye Harvard Medical School. Mungkin jodoh kita memang cuma sampai disini. Tapi terima kasih telah memberi satu mimpi pada seorang Rizal dan memberi saya kenangan manis karenanya. Dan terutama terima kasih karena pernah memberi kami "rumah".

Blackbird fly, Blackbird fly
Into the light of the dark black night.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar